Jurnal Teknologi dalam pertunjukan musik
PERAN KEMAJUAN TEKNOLOGI DALAM PERTUNJUKAN MUSIK
Sistem Informasi
Universitas Gunadarma
Jalan Komjen.Pol.M. Jasin No.09,Tugu
Cimanggis,Kota Depok,Jawa Barat,16451
Abstraksi
Abstrak
Musik
merupakan suatu hasil karya seni bunyi dalam bentuk lagu atau komposisi musik
yang mengungkapkan pikiran dan perasaan penciptanya melalui unsur-unsur musik
yaitu irama, melodi, harmoni, bentuk dan struktur musik serta ekspresi sebagai
satu kesatuan. Salah satu cara penyampaian musik yaitu melalui pertunjukan
musik. Namun, perkembangan teknologi membuat pertunjukan musik secara langsung
menjadi semakin jarang diminati oleh para penikmat musik. Selain itu, media
pertunjukan musik secara langsung juga menjadi kian sempit bagi para musisi
karena fenomena keberalihan cara menikmati musik dari waktu ke waktu. Tujuan
dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apa sajakah bentuk-bentuk penyebab
matinya pertunjukan musik dilihat dari teori simulakra dari Jean Paul
Baudrillard serta bagaimana efek Simulakra terhadap pertunjukan musik.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif serta menerapkan pendekatan
sosiologi. Dalam penelitian ini penulis memperoleh dan mengumpulkan data dengan
dua cara, yaitu pengumpulan data melalui internet dan studi pustaka. Hasil dari
penelitian ini menunjukkan bahwa perkembangan teknologi, seni menikmati musik
melalui pertunjukan musik perlahan
bergeser
dan mulai hilang digantikan dengan alat-alat atau instrumen simulakra seperti
kaset, CD, VCD, Youtube, RBT, dan iTunes. Selanjutnya, simulakra juga membawa dampak yang signifikan
terhadap matinya pertunjukan musik yaitu salah satunya adalah dehumanisasi atau
suatu kondisi dimana manusia telah meninggalkan kodratnya sebagai manusia. Kata kunci: musik, pertunjukan musik,
simulakra.
Pendahuluan
Musik adalah cabang seni yang membahas dan menetapkan
berbagai suara ke dalam pola-pola yang dapat dimengerti dan dipahami manusia.
Musik berasal dari kata muse, yaitu
salah satu dewa dalam mitologi Yunani kuno bagi cabang seni dan ilmu; dewa seni
dan ilmu pengetahuan. Musik yang baik adalah musik yang memiliki unsur-unsur
melodi, ritme, dan harmoni (Banoe, 2003: 288).
Sedangkan definisi musik menurut Bernstein & Picker
(dalam Djohan, 2006: 36) adalah suara yang diorganisir ke dalam waktu. Musik
juga merupakan bentuk seni tingkat tinggi yang dapat mengakomodir interpretasi
dan kreativitas individu. Sekelompok orang dalam kegiatan musik tidak pernah
menunjukkan adanya dua orang yang mengekspresikan musik dengan cara yang mutlak
sama.
Definisi tentang musik juga diungkapkan oleh Jamalus yang
berpendapat bahwa musik adalah suatu hasil karya seni bunyi dalam bentuk lagu
atau komposisi musik yang mengungkapkan pikiran dan perasaan penciptanya
melalui unsur-unsur musik yaitu irama, melodi, harmoni, bentuk dan struktur
lagu dan ekspresi sebagai satu kesatuan (dalam Muttaqin & Kustap, 2008:3).
11
Dari beberapa pendapat di atas yang mendefinisikan tentang
musik, kemudian dapat ditarik kesimpulan bahwa musik adalah suatu hasil cipta
manusia yang berisikan ide, pemikiran dan kreativitas yang dituangkan menjadi
karya seni bunyi dalam bentuk lagu atau komposisi musik yang memiliki
unsur-unsur seperti irama, melodi, harmoni, bentuk, dan struktur lagu dan
ekspresi sebagai satu kesatuan.
Dalam sejarah perkembangan musik, di masa lalu musik
dikaitan dengan dua fungsi pokok, yaitu sebagai sarana nemesis (Nemesis dari
bahasa Yunani yang artinya transformasi dan imitasi dari luar ke dalam diri
manusia) dan juga katarsis yang mengandung arti pemurnian jiwa melalui
pengalaman emosional. Fungsi musik sebagai sarana nemesis dapat kita temukan
dalam bentuk-bentuk pertunjukan opera sekitar abad ke-16 di Eropa. Seorang
penyanyi opera tidak hanya dituntut untuk menguasai teknik vokal dengan sangat
baik, tetapi juga dituntut untuk menjiwai tokoh yang diperankannya. Jadi,
fungsi musik dalam opera adalah untuk merefleksikan emosi melalui kata-kata dan
gerakan (Djohan, 2009: 86-87).
Fungsi musik sebagai sarana katarsis meyakini bahwa musik
juga dapat menjadi sarana pengekspresian diri. Musik dianggap mempunyai
kekuatan untuk menggugah emosi, yang dituangkan melalui penjiwaan terhadap alur
cerita dan watak tokoh yang diperankan. Penjiwaan karakter dalam opera,
misalnya akan terkait dengan berbagai macam ekspresi emosi yang tentu saja
didukung oleh karya musik yang tepat seperti apakah pelaku sedang bermasalah,
galau, ceria, percintaan dan lain sebagainya (87-88).
Merriam dalam bukunya The
Anthropology Of Music menyatakan, terdapat 10 fungsi dari musik yaitu fungsi
pengungkapan emosional, fungsi penghayatan estetis, fungsi hiburan, fungsi
komunikasi, fungsi perlambangan, fungsi reaksi jasmani, fungsi yang berkaitan
dengan norma sosial, fungsi kesinambungan budaya, dan fungsi pengintegrasian
masyarakat. Oleh karena itu, fungsi musik adalah hal-hal yang berkaitan dengan
ide-ide maupun perilaku suatu masyarakat (Merriam, 1964: 32-33).
Musik merupakan salah satu jenis bentuk seni pertunjukan.
Pertunjukan adalah seni yang disajikan dengan tampilan peragaan, yaitu seni
akan dapat dinikmati dan dihayati selama berlangsungnya ungkapan oleh pelaku
seni (Bastomi, 1988:42). Oleh karena itu, pertunjukan musik adalah segala
bentuk kreativitas seorang atau sekelompok musisi yang dituangkan ke dalam
bentuk suatu pertunjukan yang dapat dipertontonkan kepada semua orang dalam
bentuk seni musik sehingga ide, pemikiran, maupun kritik sosial yang musisi
proyeksikan agar dapat dinikmati, diapresiasi, dan bermanfaat kepada orang
banyak.
Pertunjukan Musik
dan Perkembangan Teknologi
Seiring dengan berkembangnya kemajuan teknologi, hal ini
memberi dampak negatif terhadap menurunnya minat masyarakat dalam menonton
pertunjukan musik secara langsung. Penulis menemukan artikel yang berjudul
“Jangan Salahkan Teknologi” yang membahas tentang hadirnya “new technology” yang menyebabkan
terpuruknya industri musik. Dalam sebuah diskusi yang diadakan di San Fransisco
Music Tech Summit, Lowery
mempertanyakan apakah bisnis model digital yang baru akan lebih menguntungkan
bagi para musisi.
Dalam pandangannya, meskipun para artis musisi menjadwalkan
tur dan roadshownya lebih banyak
tahun ini dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, namun rupanya minat orang
yang datang ke tempat pertunjukan musik cenderung menurun. Ia mengatakan bahwa
hadirnya Youtube dimana orang-orang
dapat menonton pertunjukan musik tanpa harus bersusah payah datang ke tempat
konser diindikasikan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi turunnya
minat seseorang menonton konser. Lebih lanjut David mengkritisi situs pencarian
seperti Google yang telah menampilkan hasil pencarian berupa link ke situs ilegal. Meskipun Google
juga telah menyediakan ruang pengaduan dengan DMCA, David memaparkan betapa
mudahnya situs ini untuk diretas atau di crack
(Ibid). Situs pencarian seperti
Google juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi menurunnya minat
orang untuk menonton pertunjukan musik.
Selain Youtube dan
situs pencarian Google lainnya, faktor adanya perusahaan rekaman yang mencetak
lagu berupa fisik dan digital seperti kaset, CD, DVD, dan saat ini berkembang
ke teknologi digital, Soundcloud, RBT dan
Apple dengan iTunes-nya menyediakan aplikasi musik yang bisa mengunduh atau
mendownload lagu secara online, juga membuat menurunnya apresiasi orang untuk
datang menonton pertunjukan musik secara langsung.
Pada 2015 harian Kompas
mengadakan jajak pendapat mengenai minat orang dalam mendengarkan dan
menonton pertunjukan musik. Dari 734 responden, 1% mendengarkan musik melalui
pemutar kaset atau CD, 62% mayoritas responden kelompok muda lebih terbiasa
menikmati musik melalui internet dengan cara mengunduh maupun mendengarkan secara
langsung atau streaming. Selain itu,
sekitar 15% lainnya mengakses melalui laman Youtube.
Hasil penelitian lainnya seperti, Global
World Index menyimpulkan bahwa orang-orang mendengarkan musik lewat
internet meningkat hingga 76% selama periode 2012-2015. Data lain dari
organisasi rekaman dunia Internasional
Federation of Phonographic Industry (IFPI) mencatat 46% pendapatan industri
musik secara global pada tahun 2014 sudah dikuasai rekaman musik digital.
Sementara itu, rekaman musik fisik sebesar, 46% dan 8% sisanya dari pertunjukan
langsung.
Dari data-data yang telah dipaparkan di atas, penulis
mengindikasi akan terjadinya masalah di tahun-tahun yang akan datang terkait
matinya pertunjukan musik secara langsung. Semakin canggihnya teknologi akan
membuat orang menjadi malas untuk pergi menonton pertunjukan musik secara
langsung. Selanjutnya, interaksi antara musisi dan fans secara langsung di gedung konser tidak akan dijumpai lagi.
Ciri manusia sebagai makhluk sosial akan bertransformasi menjadi mahluk individu
yang semua aktivitasnya mengandalkan kemajuan teknologi. Hal ini merupakan
masalah yang sangat penting untuk diperhatikan. Oleh karena itu, penulis
bermaksud untuk meneliti lebih lanjut mengenai matinya pertunjukan musik
sebagai akibat dari perkembangan teknologi.
Berdasarkan gambaran yang telah dijelaskan dalam bab
pendahuluan di atas, terdapat dua rumusan masalah dalam penelitian ini: yang
pertama, apa sajakah bentukbentuk penyebab matinya pertunjukan musik dilihat
dari teori simulakra dari Jean Paul Baudrillard, dan yang kedua yaitu bagaimana
efek simulakra terhadap pertunjukan musik.
Baudrillard (1929-2007) secara khusus memperhatikan
fenomena konsumerisme masyarakat modern dan keterkaitannya dengan perkembangan
media massa kontemporer. Baudrillard berpijak pada berbagai bentuk penolakan
terhadap konvensi sosial, konsumsi
33
berlebihan, dan pemikiran serta perilaku
konvermis yang kesemuanya dapat menyatu dalam praktik perubahan radikal.
Terdapat beberapa pemikiran Baudrillard yang terkenal dalam disiplin ilmu
sosial-humaniora antara lain yaitu konsumsi simbol, simulakra, hiperrealitas,
distingsi, sampah visual, dan drugstore.
Aspek Simulacrum atau
simulakra merupakan suatu bentuk instrumen atau alat yang mampu merubah hal-hal
yang bersifat abstrak menjadi kongkret, begitu juga sebaliknya yaitu dari
kongkret menjadi abstrak. Sebagai contoh instrumen Simulakra menurut
Baudrillard yaitu televisi, video games,
komputer atau internet, surat kabar dan majalah, bahkan lukisan. Contoh
simulakra dalam merubah suatu hal yang kongkret menjadi abstrak yaitu film.
Sebagaimana kita ketahui bahwa manusia yang senyatanya berwujud kongkret dapat
diubah sedemikian rupa ke dalam televisi atau layar dan berubah menjadi
abstrak. Sedangkan contoh perubahan dari suatu hal yang abstrak menjadi
kongkret yaitu film kartun yang dimana dalam keadaan sehari-hari pada
realitasnya tidak kita temukan kehidupan kartun karena semuanya merupakan
khayalan dan abstrak, namun dalam layar kaca kehidupan kartun itu seolah-olah
nyata. Seperti itulah cara simulakra bekerja.
Dalam kata pembuka bukunya Simulacres et simulation (1981), Baudrillard mengutip dari kitab Ecclesiaste untuk mendefinisikan simulacrum. “Simulacrum tidak pernah merupakan sesuatu yang menyembunyikan
kebenaran – namun kebenaran yang menyembunyikan bahwa tidak ada apa-apa. Simulacrum menurut Baudrillard, tidak
pernah bisa ditukar dengan realitas, tetapi saling menukar dengan dirinya
sendiri, dalam suatu lingkaran tak terputus yang tidak membutuhkan acuan
(Baudrillar dalam Haryatmoko, 2016: 70).
Metode Penelitian
Dalam penelitian ini penulis memperoleh dan mengumpulkan
data dengan dua cara, yaitu pengumpulan data melalui internet dan pustaka.
Untuk pengumpulan data melalui internet, penulis mencari semua data yang
diperlukan terkait dengan topik penelitian dan fenomena-fenomena yang terjadi
di masyarakat melalui internet dengan cara masuk ke indeks atau pangkal data
yaitu Ebsco karena mengandung berbagai jurnal humaniora yang diperlukan dalam
penelitian ini. Kemudian, penulis memasukkan tiga kata kunci pencarian
menggunakan asas Boolean yaitu musik, pertunjukan musik, dan simulakra. Untuk
pengumpulan data melalui pustaka, penulis mencari buku yang sesuai dengan topik
penelitian ini dan relevan untuk dijadikan data acuan maupun tambahan.
Kemudian data dari sumber yang diperoleh baik melalui
internet maupun pustaka, penulis melakukan empat teknik untuk mengumpulkan data
yaitu melalukan pembacaan
(reading),
pencatatan (note taking),
penginterpretasian (interpreting),
dan pengelompokan (clustering).
Penulis membaca jurnal, blog, maupun buku yang menunjang penelitian yang
diperoleh dari kedua sumber kemudian mencatat dan menggarisbawahi data-data
berupa informasi yang penting yang diperlukan untuk penelitian kemudian menginterpretasikannya
sesuai dengan masalah dalam penelitian. Setelah itu, penulis melakukan
pengelompokan data atau pemilahan data dengan cara mengambil data yang hanya
diperlukan dalam penelitian dan membuang data yang tidak relevan (data reduction).
Dalam proses ini, penulis mengelompokkan data menjadi tiga
bagian, yaitu musik, pertunjukan musik, dan simulakra. Semua data yang penulis
ambil bersumber dari bahan bacaan dengan mengacu pada tahun penulisan
setidaknya lima tahun terakhir terhitung dari tahun penelitian yang sedang
dilakukan agar didapatkan referensi yang mutakhir dan terdapat keterbaharuan
dalam pemikiran dan analisa.
Hasil dan Analisis
Bentuk-bentuk Matinya Pertunjukan musik 1.
Bentuk Fisik: Kaset dan VCD
Dalam kasus matinya pertunjukan musik, teori simulakra ini
dapat dilihat dari munculnya industri perekaman musik yang mencetak lagu-lagu
ke dalam bentuk fisik seperti kaset, CD, dan DVD. Simulasi memang bukan lagi
masalah meniru atau membuat duplikatnya, bukan pula suatu bentuk parodi, tapi
masalah menggantikan tanda-tanda riil yang kemudian justru diperlakukan seakan
sebagai yang riil itu sendiri. Simulasi merupakan bentuk operasi untuk mencegah
setiap proses riil agar tidak diganti oleh duplikatnya yang operasional. Hal
ini merupakan bentuk simulasi yang dibuat para pelaku industri untuk dapat
menghasilkan keuntungan yang sebesar-besarnya dengan cara yang seefisien
mungkin jika dibandingkan dengan hasil laba atau keuntungan jika
menyelenggarakan pertunjukan musik secara langsung yang akan membutuhkan banyak
biaya. Dengan dicetaknya bentuk simulasi berupa kaset, CD, dan DVD, seakan
mereka mau menggantikan pertunjukan musik dengan bentuk lain, artinya penikmat
musik tidak perlu repot lagi datang menonton pertunjukan musik secara langsung
dengan mendengarkan musik di kaset, CD, dan DVD orang akan sudah terpuaskan
hasratnya dan tidak perlu lagi menonton pertunjukan musik. Jadi, simulasi
menjadi mesin programatik dan deskriptif sempurna yang menyediakan semua tanda
riil untuk memberi jalan pintas semua perubahannya.
Bentuk simulakra lain dari pelaku industri musik yaitu para
pelaku hanya perlu menyelenggarakan satu kali proses pertunjukan musik dan atau
mengadakan satu kali proses perekaman musik untuk kemudian dikemas dan dicetak
ke dalam bentuk media yang lebih sederhana seperti kaset, CD, dan DVD. Proses
penyederhanaan ini tentu saja menghemat biaya. Contohnya seperti biaya tenaga
kerja, misalkan jika dalam pertunjukan musik secara langsung diperlukan jumlah
tenaga kerja atau crew yang terlibat
dalam pementasan pertunjukan musik tentunya tidak sedikit dan memerlukan banyak
biaya. Namun jika pertunjukan musik disederhanakan ke dalam bentuk kaset, CD
dan DVD dengan cara perekaman maka akan menghemat banyak biaya karena proses
produksinya hampir sebagian besar dilakukan oleh mesin. Tentu saja dengan
menggunakan sedikit bahan mentah, sederhana dalam pembuatan dan penyajiannya
akan tetapi dapat dengan segera atau cepat dikonsumsi atau dinikmati oleh
konsumen.
Namun, konsumsi ini juga mendorong orang menjadi
individualis, karena pemenuhan hasrat akan suatu barang atau jasa lebih untuk
kebutuhan diri sehingga mengikis solidaritas karena dengan adanya simulasi
dalam produksi industri dari pertunjukan musik langsung ke dalam bentuk kaset,
CD, dan DVD maka para penikmat
55
musik atau konsumen seolah-olah dapat
menikmati pertunjukan musik melalui media tersebut di atas. Para konsumen tidak
lagi dapat menikmati indahnya pertunjukan musik secara langsung karena merasa
kenikmatan musik itu sendiri telah didapatkan melalui memutar media seperti
kaset, CD, dan DVD. Hal ini dapat mengakibatkan kematian pada pertunjukan musik
di kemudian hari karena para penikmat musik atau konsumen tidak lagi memerlukan
pertunjukan musik sebagai bentuk hiburan, karena telah tergantikan dengan kemajuan
teknologi.
2.
Bentuk Digital: iTunes dan download
Perkembangan teknologi membuat industri perekaman merupakan
model sempurna dalam tatanan simulasi dimana dikembangkan dengan memberikan
kemudahan manusia dalam mengaksesnya dengan cepat dan mudah. Dalam kasus
matinya pertunjukan musik, sehubungan dengan majunya perkembangan teknologi,
salah satu faktor penyebabnya adanya industri perekaman musik yang mencetak
lagu-lagu ke dalam bentuk digital seperti iTunes.
iTunes merupakan
salah satu dari produk dari perusahaan raksasa teknologi Apple. Dengan adanya layanan aplikasi ini para penggunakan iPhone dapat membeli dan mendownload musik dan produk digital
lainnya dengan cepat dan mudah. Kemudahan ini dijadikan alasan bagi para
pemilik modal bahwa iTunes telah
memberikan kontribusi sebesar-besarnya untuk keuntungan perusahaan. Sejak
aplikasi iTunes di luncurkan, Apple telah menjual lebih dari 10 miliar
lagu. Bentuk Daya Hitung inilah yang digunakan para pemilik modal untuk mampu
menghitung segala keuntungan dengan perhitungan yang telah dipersiapkan.
Contohnya jika konsumen mengunduh satu lagu, maka mereka harus membayar Rp
7.000; dan dikalikan dengan jumlah semua pengunduh seluruh dunia, maka hasilnya
dapat dihitung sesuai dengan prediksi.
Dengan adanya iTunes,
para pemilik modal dapat menghitung beban biaya produksi mereka. Contohnya,
dengan iTunes, para pemilik modal
akan lebih menghemat biaya dari yang sebelumnya menggunakan bahan mentah
seperti material kaset, CD, dan DVD, kini mereka tidak perlu lagi mengeluarkan
beban biaya-biaya tersebut. Para konsumen cukup mengkoneksikan iphone atau gadget mereka dengan internet dan mengunduh lagu-lagu favorit
mereka. Oleh karena itu, dunia imajiner memungkinkan keberhasilan simulasi
berkat adanya kesenangan, kemudahan, dan kecepatan dalam men-download atau mengakses produk yang
diinginkan. Mesin ini membuat dunia manusia seakan-akan berada di tempat
pertunjukan musik, yaitu dunia riil, padahal mesin-mesin di iPhone itu digunakan untuk menarik
keuntungan sebesar-besarnya oleh pelaku industri dan pemilik modal.
Efek Simulakra terhadap Pertunjukan Musik
Baudrillard menjelaskan tentang simulakra sebagai suatu
bentuk instrumen atau alat yang mampu merubah hal-hal yang bersifat abstrak
menjadi kongkret, begitu juga sebaliknya yaitu dari kongkret menjadi abstrak.
Seperti yang telah dijelaskan diatas bahwa terdapat bentuk-bentuk matinya
pertunjukan musik seperti bentik fisik (kaset, CD, dan DVD) serta bentuk
digital (iTunes). Bentuk-bentuk
tersebut merupakan simulakra dalam pengertian Baudrillard sebagai instrumen
pengganti yang mampu merubah hal-hal yang bersifat abstrak menjadi konkret atau
sebaliknya.
Kemudian dalam perkembangan teknologi, dengan adanya
bentuk-bentuk simulakra yang berupa kaset, CD, VCD, dan iTunes membuat para pelaku industri musik, dalam hal ini para
pemilik modal, dapat dengan mudah mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dan
menghemat berbagai biaya-biaya proses produksi. Efek yang dihasilkan dari
alat-alat atau instrumen simulakra ini yaitu membuat konsumen, dalam hal ini
manusia, tidak lagi dapat berinteraksi dengan sesama manusia karena lebih
banyak menghabiskan waktu mereka dengan teknologi. Manusia merasa dengan adanya
industri perekaman yang dikemas dalam bentuk fisik seperti; kaset, CD, dan DVD
yang kemudian dikembangkan ke dalam bentuk digital seperti; Youtube, RBT, dan iTunes mereka
seolah-olah mereka sudah mendapatkan kepuasan yang sama selayaknya menonton
pertunjukan musik secara langsung. Hal ini menjadi irasional karena manusia
tidak dapat berfikir bahwa kemajuan teknologi berupa kaset dan sebagainya
merupakan topeng dari para pemilik modal untuk menghemat biaya produksi mereka.
Efek simulakra selanjutnya yaitu manusia menjadi target
dari pemilik modal untuk mendapatkan keuntungan. Selain itu, manusia menjadi
sasaran para pemilik modal untuk menerapkan idealisme mereka tentang standarisasi
dan penyeragaman selera secara massal melalui kaset, CD, dan DVD, Youtube, RBT, dan iTunes. Hal ini
membuat manusia kehilangan akal atau rasional mereka karena bentuk-bentuk
simulakra tersebut sejatinya mengontrol pola pikir, perilaku, kegiatan serta
selera mereka dalam kehidupan sehari-hari.
Efek irrasionalisasi ini membuat manusia kehilangan
interaksi dengan manusia yang lain. Contohnya manusia tidak lagi menonton
pertunjukan musik yang dipertunjukan manusia secara langsung, dan digantikan
oleh mesin berupa kaset, CD, VCD, Youtube,
RBT, dan iTunes. Hal yang sama juga terjadi pada para musisi yang akhirnya
tidak mampu berinteraksi lagi dengan penggemarnya karena karya mereka sudah
tidak diperdengarkan lagi secara langsung atau berkurangnya kesempatan mereka
dalam melakukan pertunjukan musik, maka matilah pertunjukan musik mereka.
Dampak terburuk dari bentuk-bentuk simulakra ini adalah manusia saat ini dan
pada akhirnya dikhawatirkan akan kehilangan fungsi dan sifat manusia itu
sendiri, dalam contoh penelitian ini, manusia yang sejatinya menikmati musik
melalui pertunjukan musik , sekarang berubah menjadi pola menikmati musik
melalui kaset, CD, VCD, Youtube, RBT, dan iTunes dan kepuasan yang mereka dapatkan seolah-olah sama seperti
mendengarkan musik melalui pertunjukan musik. Hal ini kemudian menjadikan
interaksi antara manusia satu dengan lainnya menjadi berkurang dan akan
mengakibatkan adanya dehumanization atau
manusia akan kehilangan kodratnya sebagai manusia.
Kesimpulan
Alat-alat atau instrumen simulakra seperti kaset, CD, VCD, Youtube, RBT, dan iTunes merupakan
sistem yang diciptakan oleh kaum kapitalis untuk dapat menguasai pasar dan
menciptakan standarisasi atau penyeragaman berupa penyeragaman produk, selera,
serta membentuk kebiasaan dan perilaku konsumen untuk mengikuti kontrol para
77
pemilik modal. Mendengarkan musik melalui
kaset, CD, DCD, dan iTunes, membuat
para konsumen sejatinya dijauhkan dengan nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri
dengan dalih efisien, praktis, maupun atas nama modernitas.
Dengan perilaku dan kebiasaan mendengarkan musik lewat
media-media seperti yang telah disebutkan di atas, maka akan membawa efek dalam
pertunjukan musik. Interaksi antara musisi dengan penggemar akan mati karena
penggemar sudah tidak menonton pertunjukan secara langsung, senada dengan itu,
para musisi juga tidak lagi dapat berinteraksi dengan para penggemar karena karya-karya
mereka sudah tersedia dalam format kaset, CD, DVD, dan iTunes. Oleh karena itu, kita buktikan dalam beberapa tahun
mendatang apakah teori Baudrillard tentang simulakra ini terbukti atau tidak
dalam segi pertunjukan musik dengan melihat berbagai fenomena saat ini yang
manusia sudah kehilangan sifat atau nature
manusia itu sendiri yang akan mengarah pada dehumanisasi.
Daftar pustaka
Banoe, Pono. 2003. Kamus Musik.Yogyakarta: Kanisius.
Bastomi, S. 1988. Apresiasi Kesenian Tradisional. Semarang: IKIP Semarang Press.
Djohan. 2006. Terapi Musik: Teori dan
Aplikasi. Yogyakarta: Galangpress.
______. 2009. Psikologi Musik. Yogyakarta: Best Publisher.
Haryatmoko. 2016. Membongkar Rezim Kepastian Pemikiran Kritis
Post-Strukturalis. Yogyakarta: Kanisius
Kustap, Muttaqin.
2008. Seni Musik Klasik Jilid 2.
Jakarta: Direktorat Pembinaan Sekolah Kejuruan.
Merriam, Alan P. 1964. The Anthropology of Music. Chicago Nortwestern University.
http://www.widiasmoro.com/2012/04/23/jangan-salahkan-teknologi/,diakses
pada tanggal 5 Juni 2016 pukul 18.19 WIB.
http://print.kompas.com/baca/2016/01/05/Industri-Musik-Redup-oleh-Digital,
diakses pada tanggal 5 Juni 2016 pukul 20.40 WIB.
http://www.ifpi.org/global-statistics.php,
diakses pada tanggal 7 Juni 2016 pukul 18.30
WIB.
http://www.plimbi.com/article/3154/lebih-dekat-dengan-iTunes-pada-perangkat-apple, diakses
pada tanggal 9 juni 2016 pukul 18.05.
Komentar
Posting Komentar